komunikasi

Minggu, 08 April 2012

MENGENAL QIRAAT SAB’AH


MENGENAL QIRAAT SABAH
(Sebuah Pengantar)


Alqur’an adalah mukjizat abadi yang diturunkan kepada Rasulullah SAW sebagai hidayah dan petunjuk yang membedakan antara yang hak dan yang batil. Alqur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang sangat tinggi susunan bahasa dan keindahan balagahnya. Bangsa Arab mempunyai berbagai lahjah (dialek) yang beragam antara satu kabilah dan kabilah yang lainnya, baik dari segi intonasi, bunyi maupun hurufnya. Namun bahasa Quraisy mempunyai kelebihan dan keistimewaan tersendiri dari bahasa dan dialek yang lainnya. Adapun faktor yang membuat bahasa Quraisy lebih dominan dikarenakan orang Quraisy berdampingan dengan Baitullah, menjadi pengabdi urusan haji dan tempat persinggahan perniagaan.
Oleh karena perbedaan dan keragaman dialek tadi maka al Qur’an diturunkan Allah dengan berbagai dialek dan macam-macam cara membaca, sehingga memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya.
Banyak sekali hadits yang menyatakan tentang diturunkannya Al Qur’an dalam Tujuh Huruf (Sab’atu Ahruf). Diantaranya Rasulullah bersabda :”Jibril telah membacakan Al Qur’an kepadaku dalam satu huruf. Aku berulang-ulang membacanya. Selanjutnya Aku selalu minta kepadanya agar ditambah, sehingga ia menambahnya sampai tujuh huruf.” (HR. Bukhori-Muslim).
Arti Sab’atu Ahruf dalam hadits di atas mengandung banyak penafsiran dari kalangan para ulama, hal ini disebabkan karena kata Sab’ah dan kata Ahruf mempunyai banyak arti. Kata Sab’ah dalam bahasa Arab bisa berarti tujuh, dan bisa juga berarti bilangan tak terbatas, sedangkan kata Ahruf adalah jamak dari Harf yang berarti makna, saluran air, wajah, kata, bahasa. Para ulama telah mencoba menafsirkan Sab’atu ahruf yang menurut Imam As-Suyuti tidak kurang dari empat puluh penafsiran. Sebagai bahan rujukan dapat kita ambil pendapat Abul fadl Ar-Razi, yang mengatakan bahwa arti Sab’atu Ahruf adalah tujuh wajah/bentuk maksudnya keseluruhan Al Qur’an dari awal sampai akhir tidak akan keluar dari tujuh wajah perbedaan berikut ini, yaitu;
  1. Perbedaan bentuk isim (mufrad, mutsanna, atau jama’), misalnya : Liamaanatihim (mufrad) dan Liamaanaatihim (jama’).
  2. Perbedaan bentuk fiil (madi, mudari, atau amr), misalnya : rabbanaa baa’ada (madi) dan rabbana baa’id (amr).
  3. Perbedaan bentuk I’rab (rafa’,nasab, jar, atau jazm), misalnya : waarjulikum (jarr) dan waarjulakum (rafa’).
  4. Perbedaan bentuk naqis atau ziyadah, misalnya : Qaaluttakhada dan Waqaaluttakhada.
  5. Perbedaan bentuk Taqdim dan Ta’khir, misalnya : Fayuqtaluuna wayaqtuluuna dan Fayaqtuluuna wayuqtaluuna.
  6. Perbedaan bentuk Tabdil, misalnya : Nunsyiruha dan Nunsyizuha.
  7. Perbedaan bentuk dialek (lahjah) misalnya imalah, tqlil, izhar dll.

Qiraat atau macam-macam bacaan Al Qur’an telah diajarkan oleh Rasulullah kepada para sahabat sebagaimana beliau menerima bacaan itu dari Jibril AS. Dan pada masa sahabat telah muncul banyak ahli qiraat yang menjadi anutan masyarakat, diantarnya yang termasyhur antara lain Ubay, Ali, Zaid bin Sabit, Ibnu Mas’ud dan Abu Musa Al Asy’ari. Mereka itulah yang menjadi sumber bacaan Al Qur’an bagi sebagian besar sahabat dan tabiin
Suatu qiraat atau bacaan Al Qur’an dianggap sah apabila memenuhi tiga kriteria persyaratan, yaitu :
a). Harus mempunyai sanad yang mutawatir, yakni bacaan itu diterima dari guru-guru yang dipercaya dan bersambung kepada Rasulullah,
b). Harus cocok dengan Rasm Usmani, dan
c). Harus cocok dengan kaidah tata bahasa Arab.
Dari penelitian dan pengujian yang dilakukan para pakar Qiraat dengan menggunakan kaidah dan kriteria tersebut, diungkapkan bahwa suatu Qiraat bila ditinjau dari segi nilai sanadnya akan terbagi menjadi enam tingkatan Qiraat, yaitu:
  1. Mutawatir, yaitu Qiraat yang diriwiyatkan oleh sejumlah perawi yang cukup banyak pada setiap tingkatan dari awal sampai akhir yang bersambung hingga Rasulullah SAW
  2. Masyhur, yaitu Qiraat yang mempunyai sanad yang sahih, tetapi jumlah perawinya tidak sebanyak qiraat mutawatir
  3. Ahad, yaitu Qiraat yang mempunyai sanad yang sahih tetapi tidak cocok dengan Rasm Usmani ataupun kaidah bahasa arab
  4. Syaz, yaitu Qiraat yang tidak mempunyai sanad yang sahh yang tidak memenuhi figa syarat syah untuk diterimanya qiraat
  5. Mudraj, yaitu Qiraat yang disisipkan ke dalam ayat Al Qur’an
  6. Maudu, yaitu Qiraat buatan yakni disandarkan kepada seseorang tanpa dasar, serta tidak memilikisanad ataupun rawi.
Setelah melalui penelitian dan pengujian terhadap Qiraat Al qur’an yang banyak beredar, ternyata yang memenuhi syrat mutawati menurut kesepakatan para ulama Al Qur’an ada tujuh bacaan yang dipopulerkan oleh tujuh imam qiraat. Inilah yang kemudian dikenal demngan Qiraat Sab’ah. Para Imam Qiraat Tujuh tersebut tentu mempunyai murid banyak yamg meriwayatkan dan meneruskan Qiraat guru-gurunya hingga sampai kepada kita sekarang ini. Namun dalam dunia Qiraat hanya diambil dua orang perawi saja dari masing-masing imam qiraat. Adapun ketujuh Imam qiraat tersebut antara lain;
  1. Imam Nafi’, nama lengkapnya Nafi’ bin Abdurrahman bin abu Nuaim Al-laisi, lahir tahun 70 H dan wafat 169 H di Madinah. Sanad atau silsilah imam ini adalah ia mempunyai banyak guru diantaranya Abdurrahman bin Hurmuz, Abdurrahman dari Abdullah bin Abbas da Abu Hurairah, dari Ubay bin Ka’b dan Ubay dari Rasulullah SAW. Adapun perawi imam Nafi adalah :
a). Qaaluun, dengan nama lengkapnya ialah Abu Musa Isa bin Mina dan
b). Warsy dengan nama lengkapnya Usman bin Sa’id Al- Misri
  1. Ibnu Katsir, nama lengkapnya Abu Ma’bad Abdullah bin Katsir Al-Makki, lahir tahun 45 H dan wafat di Mekah tahun 120 H. Sanad bacaannya dari Abdullah bin Sa’id Al-Makhzumi. Abdullah membaca dari Ubay bin Ka’b Umar bin Khatab, keduanya membaca dari Rasulullah. Adapun perawi Imam Ibnu Katsir adalah
a). Al-Bazzi yang nama lengkapnya Ahmad bi Muhammad bin Abdullah bin Abu Bazzah, dan
b). Qunbul dengan nama lengkapnya Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Makhzumi.
  1. Abu Amr, nama lengkapnya Zabbaan bin Al’Ala’ bin ‘Ammar, lahir tahun 68 H dan wafat di Kuffah tahun 154 H. Sanad Imam ini adalah dari Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa’ dan Hasan Al-Basri. Hasan membaca dari Khatthan dan Abu Aliyah. Abu Aliyah membaca dari Umar bin Al-Khatab dan Ubay bin Ka’b dan keduanya dari Rasulullah. Perawi Imam ini ialah
a). Ad-Duri yang nama lenglapnya Abu Umar hafs bin Umar dan
b). As-Susi atau Abu Syua’ib Salih bin Ziyad As-Susi.
  1. Ibnu Amir, nama lengkapnya Abdullah bin Amir Al-Yahsabi lahir tahun 21 H, wafat tahun118 H di Damaskus. Sanad Imam ini hanya berselang seorang sahabat yaitu  Usman bin Affan dan Usman dari Rasullullah. Perawi Imam ini adalah
a). Hisyam yakni Hisyam bin Ammar Ad-Dimasqi dan
b). Ibnu Zakhwan yakni Abu Amir Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Zakhwan Ad-Dimasyqi.
  1. ‘Asim, nama lengkapnya Abu Bakar bin Abun Najud Al-Asadi, wafat di Kuffah tahun 128 H. Sanad Imam ini, ia membaca dari Abu Abduerrahman bin Hubaib As-Sulami, Abu Abdurrahman membaca dari Abdullah bin Mas’ud, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Sabit dan para sahabat tersebut dari rasulullah SAW. Adapun perawi ini adalah
a). Syu,bah yang nama lengkapnya Abu baker Syu’bah bin Ay-Yasi bin Salim Al-Asadi dan
b). Hafs, yang namalengkapnya Abu ‘Amr Hafs bin Sulaiman bin Al Mughirah. Bacaan Imam Hafs inilah yang beredar di Indonesia.
  1. Hamzah, nama lengkapnya Hamzah bin Hubaib Az-Zayyat lahir tahun 80 H dan wafat tahun 156 H di Halwan. Sanad imam ini ialah ia membaca dari Abu Muhammad bin Sulaiman bin Mahran Al-‘Amasyi, Al-‘Amasyi dari Abu Muhammad Yahya Al-‘Asadi, Yahya menerima dari Al-Qamah bin Qais, dan Al-Qamah talaqqi dari Abdullah bin Mas’ud dsan Ibnu Mas’ud dari Rasulullah. Adapun perawinya ialah
a). Kholaf atau Abu Muhammad Kholaf bin Hisyam Al-Bazzaz dan
b). Khalad atau Abu Isa Khallad bin Kholid As-Sairafi.
  1. Al- Kisai, nama lengkapnya Abul Hasan Ali bin Hamzah Al-Kisai. Sanadnya ialah ia membaca Al-Qur’an dari imam Hazah dan juga talaqqi pada Muhammad bin Abu laili serta Isa bi Umar dan Isa bin Umar dari ‘Asim. Adapun perawi imam Al-Kisai ialah
a). Abu Haris yang nama lengkapnya ialah Al-Lais bin Khalid Al-Bagdadi
b). Ad -Duri  yang telah dikemukakan di atas dan ia sebagai perawi dari abu Amir. Dalam hal ini ia juga disebut Ad-Duri Al-Kisai.
Disamping tujuh imam qiraat tersebut, para ulama juga memilih tiga orang imam lagi yang qiraatnya benar dan mutawatir yaitu Abu Ja’far, Ya’kub dan Khalaf. Mereka bersama tujuh imam di atas berjumlah sepuluh, dan bias disebut Qiraat ‘Asyr (Qiraat Sepuluh).
            Perlu diketahui bahwa bacaan suatu lafaz Al-Qur’an bila dinisbatkan kepada seorang imam qiraat, maka ia dinamakan “Qiraat”. Oleh karena disebutkan Imam qiraatnya, berarti bahwa bacaan kedua perawinya tidak ada ikhtilaf. Sebaliknya bila bacaan suatu lafaz Al-Qur’an dinisbatkan kepada perawinya, maka dinamakan  Riwayat”, dan ini berarti bahwa dalam bacaan lafaz tersebut pasti ada ikhtilaf antara kedua orang perawi dari Imam Qiraat itu.
            Sebagai contoh, umpamanya lafaz “Maliki” dalam surat Al- Fatihah oleh Imam ‘Asim dan Al-Kisai dibaca dengan menetapkan Alif (isbat alif), yakni dibaca “Maaliki”. Ini berarti kedua perawi Imam ‘Asim (yaitu Syu’bah dan Hafs)  dan perawi Al-Kisai (yaitu Abul Haris dan Ad-Duri) sama-sama membaca isbat alif sebelum Mim.
            Contoh lain misalnya lafaz “Assholaata”, lafaz ini dibaca Tagliz Lam (menebalkan lam) oleh Imam Warsy. Oleh karena Imam Warsy ini adalah seorang perawi dar Imam Nafi’, maka perawi Imam Nafi’ yang lainnya yakni Imam Qaluun tentu tidak membaca dengan “Tagliz Lam” melainkan dengan Tarqiq Lam (menipiskan Lam). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bacaan Assholaata menurut Imam Nafi’ riwayat Warsy dibaca “Tagliz Lam”, sedangkan menurut riwayat Qaluun dibaca dengan “Tarqiq Lam”.

            Demikian sekilas pengantar mengenai Qiraat Sab’ah, dan insya Allah pada tulisan berikutnya akan dipaparkan mengenai kaifiah dan aturan-aturan tajwid dalam Qiraat Sab’ah. Semoga bermanfaat dan menjadi suatu inspirasi dalam rangka mempelajari lebih lanjut kalam Allah yang sempurna ini. Wallahu ‘alam Bisshawab.

REFERENSI
  1. Kitab Al-Waafi Fi Syarhisy Syatibiyah Fi Qiaraati Sab’ oleh Abdul Fattah Al-Qaadi
  2. Kitab Siraajul Qorri Al-Mubtadi Watizkaarul Muqri al-Muntahi oleh Abul Qasim Ali bin Usman bin Muhammad bin Ahmad bin Hasan
  3. Kitab Al Buduuruz Zahirah Fil Qiraatil ‘Asyr al-Mutawaatirah min Taririiqay asy-Syatibiyah wad Durrah oleh Abdul fatah A-Qadi
  4. Qaaidah Qiraatis Sab’ ( Ma’had Ad-Diraasat Fi Ulumil Qur’an) IIQ JKT
           
  

Konsep Diri Eks Wanita Tuna di Panti Sosial



Syaiful Rohim*
08159349713


Abstract

In general this research, to see how the rehabilitation program is, how’s the interaction, social adaptation, and also the self concept of ex prostitute before and after joins the rehabilitation.
This research will be very interesting to be done, because when researcher revealed the subjective reality from one prostitute that enter and join the rehabilitation process, the adaptation readiness also will be revealed. This research that was going on emic was done by deeper interview method, observation, and documentation study as a technic in getting the data.
This research shows that the self concept of ex prostitute is negative before enter the rehabilitation (when become a prostitute) based on the subject motivation to be a prostitute, and also as a self image of physic perception, mental, and social during as a prostitute. Beside that it is also found self concept polarization become a positive and negative self concept after join the rehabilitation based on the the perception of physic, social, and mental. From the self concept polarization, it is formed to be three typology of ex prostitute; they are optimistic ex prostitute, dilemmatic ex prostitute, and pessimistic ex prostitute. In social adaptation readiness concept context, it is also found three classification of social adaptation readiness of ex prostitute in Bina Karya Wanita “Harapan Mulya” Rehabilitation Kedoya Jakarta to be: ex prostitute ready to adaptation, ex prostitute unready and pragmatic or conditional ex prostitute.

Keyword: Ex Prostitute, Self Concept, Communication, Rehabilitation





I. Pendahuluan
1.1 Konteks Penelitian
            Di antara sekian masalah yang cukup serius yang dialami bangsa kita sebagai pengaruh dari globalisasi ini ialah merajalelanya wanita tuna susila (WTS) dan atau sering disebut pekerja seks komersial (PSK). Data ini tercatat bahwa fakta angka tahun 2006 jumlah Pekerja Seks Komersial (perempuan) mencapai 240 ribu dan 30 persen PSK Indonesia adalah anak-anak dibawah usia 18 tahun. (Dinas Sosial Prop.DKI Jakarta, 2006)
            Maraknya pekerja seks komersial atau pelacur ini di Jakarta mengharuskan Pemda Propinsi DKI Jakarta menyusun kebijakan dan menerapkan langkah-langkah penganggulangan yang terpadu dan menyeluruh dalam suatu sistem yang efektif dan komprehensif, baik penegakan hukum untuk mengurai suplai (supply reduction) maupun pendekatan kesejahteraan untuk menekan dan mengatasi laju jumlah WTS di Jakarta. Pada kenyataannya usaha-usaha untuk menanggulangi permasalahan ini tetap sulit untuk mencapai hasil yang optimal. Permasalahannya selain terletak pada terbatasnya jangkauan dan kemampuan pemerintah, juga karena kompleksitas rumitnya seputar masalah pelacuran ini. Berkembangnya kasus-kasus dan semakin pesatnya jumlah WTS ini berkaitan langsung dengan kesehatan mental masyarakat serta sebagai akumulasi dari berbagai masalah sosial dan kepribadian. Berangkat dari hal ini pula penanganan yang bersifat kemasyarakatan dengan berbasis masyarakat mempunyai arti yang sangat penting.
            Sesuatu hal yang wajar manakala dalam diri setiap manusia memiliki hasrat seksualitas sebagai anugerah dari Sang Pencipta. Secara kodrati seksualitas merupakan kebutuhan biologis setiap individu. Namun anugerah tersebut nampaknya terkadang dijadikan suatu penyimpangan seksualitas dan komersialisasi dalam memenuhi kebutuhan hidup. Apapun alasannnya dan bagaimanapun bentuknya pekerja seks komersial, wanita tuna susila, pelacuran, dan perzinaan dilarang keras baik oleh agama maupun masyarakat. Semua agama di muka bumi ini melarang terhadap kegiatan prostitusi, terlebih ajaran agama Islam telah memberikan pelarangan yang keras karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang keji dan tercela sesuai dengan firman Allah surat Al-Isra ayat 32 yaitu:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا ( أ لإسراء: 32)

             Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, tidak sopan dan suatu jalan yang buruk” (Q.S. Al-Isra: 32)


            Pelacur, ayam, lonte, WTS, dan PSK adalah sedikit dari sekian banyak antrian panjang istilah yang kerap terdengar ketika seseorang menunjuk pada sesosok perempuan penjaja “daging mentah” pemuas nafsu birahi kaum lelaki hidung belang ini. Persoalan di sekitar semua istilah transaksi “bisnis lendir” itulah masyarakat memberikan julukan atau labeling yang sedikit banyak memberikan kontribusi terhadap konsep dirinya. Ini kemudian dikonstruksi untuk mengontrol aktivitas seks yang tidak sesuai dengan norma masyarakat (Koentjoro, 2004). Akan tetapi julukan yang dianggap suatu kewajaran tersebut jangan dijadikan suatu alasan untuk tidak menerima mereka sebagai bagian dari anggota masyarakat.
Penangkapan atau razia yang dilakukan pemerintah saat mereka beraktivitas sebagai pelacur, membuat terjadinya perubahan psikologis terutama sekali ketika menjalani pembinaan di panti rehabilitasi selama 3-6 bulan bulan pasca penangkapan/razia. Mereka menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya dan mungkin mempunyai konsep diri yang baru. Tragedi penangkapan yang membawanya ke tempat rehabilitasi membawa seorang pelacur/WTS mengalami perubahan dunia sosial dan kesadaran yang baru yang berbeda ketika sebelum berada dalam panti rehabilitasi. Perubahan tersebut membuat mereka melakukan introspeksi dan redefinisi terhadap dirinya, sehingga akhirnya ia mempunyai konsep diri yang baru, karena konsep diri bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir melainkan terbentuk dari pengalamannya. Mead (dalam Sobur, 2003:512) memberikan definisi diri sebagai produk sosial yang dibentuk melalui proses interaksi dan organisasi pengalaman-penglaman psikologis.
Dari semua tindak komunikasi yang paling penting adalah diri (self), siapa anda dan bagaimana anda mempersepsikan diri sendiri dan orang lain akan memengaruhi komunikasi anda dan tanggapan anda terhadap komunikasi orang lain (Rahman, 2004:96). Ini menjadi implikatif dan kompleks ketika para mantan WTS mempersepsikan dirinya ketika berinteraksi dan melakukan penyesuaian atau adaptasi dengan dunia baru yang sebenarnya merupakan situasi dan suasana yang tidak dikehendaki sebelumnya, karena prosesnya ia memasuki tempat rehabilitasi atau panti melalui pemaksaan yakni karena tertangkap ketika razia. Dalam unit ini kita mendalami dua aspek dalam diri (self). Pertama menelaah kesadaran diri dan mengamati beberapa dalam diri (self) seorang mantan wanita tuna susila. Kedua membahas pengungkapan diri, bentuk komunikasi dimana seseorang mengungkapkan sesuatu tentang siapa diri. Kesadaran diri merupakan landasan bagi semua bentuk dan fungsi komunikasi (Kleinke,1978, dalam Rahman, 2004:8). Ini dapat dijelaskan dengan baik melalui teori jendela (Johari Window) yang membagi empat daerah atau kuadran pokok: daerah terbuka, daerah buta, daerah tertutup, dan daerah gelap.
Suatu kondisi yang wajar manakala berbagai macam kompleksitas konflik dan permasalahan yang mereka alami menjadi hal terberat dalam melakukan komunikasi dan interaksi sosial dengan anggota masyarakat lainnya, karena sejak lahir manusia telah memiliki dua hasrat atau keinginan pokok, yaitu pertama keinginan menjadi manusia yang berubah serta menjadi lebih baik  dan kedua keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di lingkungan sekitarnya /masyarakat (Soekanto, 2002:124). Kesiapan untuk melakukan penyesuaian sosial pasca rehabilitasi adalah sesuatu hal yang terberat bagi mereka ketika mereka merasa dikucilkan oleh masyarakat, atau bahkan mereka menjadi inferior (rendah diri) dalam melakukan interaksi sosial dengan masyarakat tempat mereka tinggal. Dalam konteks komunikasi yang berkaitan dengan relasi antar pribadi, konsep diri merupakan faktor yang amat menentukan, karena setiap orang bertingkah laku/ berkomunikasi sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya (Rakhmat, 2005:104). Rakhmat menambahkan, sukses komunikasi interpersonal ini banyak bergantung pada kualitas konsep diri seseorang; positif atau negatif. Oleh karena itu untuk meneliti kesiapan adaptasi sosial seorang mantan pelacur pasca rehabilitasi harus diawali dengan memahami bagaimana konsep diri mereka sebelum dan selama menjalani proses rehabilitasi di dalam panti.

II. Eks Wanita Tuna Susila dalam Persfektif Teoritis
2.1 Konsep Diri dalam Komunikasi
Persoalan mengenai konsep diri tidak hanya berkenaan dengan masalah psikologis, namun juga berhubungan dengan komunikasi. Oleh karena itu, pembahasan tentang fenomena komunikasi mantan wanita tuna susila harus disertakan juga kajian tentang konsep dirinya. Terdapat beberapa definisi konsep diri yang dikemukakan oleh berbagai pakar. Anita Taylor (dalam Rakhmat, 2005:100) misalnya, memaknai konsep diri sebagai “all you think and feel about you, you entire complex of beliefs and attitude you hold about yourself.”  Sedangkan Hurlock (1978) mengatakan bahwa  konsep diri adalah kesan (image) individu mengenai karateristik dirinya yang mencakup karakteristik fisik, sosial, emosional, aspirasi dan achievment.
Seluruh pemaknaan atau definisi tentang konsep diri yang dikemukakan oleh beberapa pakar seperti di atas, pada dasarnya memiliki esensi makna yang sama, hanya diungkapkan dengan bahasa dan perspektif yang sedikit berbeda. Seluruh definisi konsep diri yang dikemukakan tersebut mengacu kepada pengertian bagaimana individu memandang dirinya. Oleh karena itu, konsep diri dapat dimaknai sebagai pandangan subyektif individu mengenai pribadinya secara utuh.
Konsep diri seseorang oleh beberapa kalangan tidak diklaim sebagai sesuatu yang given, atau yang telah ada dan bersifat pasif (statis), namun konsep diri merupakan suatu hasil interaksi seseorang dengan lingkungannya. George Herbert Mead (dalam Sobur, 2003:512) mengatakan bahwa konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang penting.
Sobur (2003:513) menambahkan bahwa konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain. Oleh karena itu, berkaitan dengan proses dinamis dalam pembentukan konsep diri tersebut, Rakhmat (2005:100) mengatakan ada dua faktor yang mempengaruhi konsep diri, yaitu faktor orang lain dan kelompok rujukan (reference group). Sedangkan Yulianita (dalam Sobur, 2003:515) juga menyebut dua hal yang mendasari perkembangan konsep diri seseorang, yakni pengalaman kita secara situasional dan interaksi kita dengan orang lain.
            Setiap orang selalu berusaha untuk hidup lebih baik dan ingin menjalin hubungan lebih harmonis dengan lingkungannya. Interaksi seseorang dengan lingkungannya (terutama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri, sebagaimana yang disebutkan di atas) dapat dijadikan sebagai ajang evaluasi diri. Lewat fenomena interaksi dan evaluasi diri inilah, seseorang bisa melakukan upaya maintaining dan escalating atas konsep dirinya, sehingga seseorang senantiasa mendapatkan konsep diri yang positif. Upaya maintaining  dilakukan ketika seseorang mendapatkan respon (penilaian) yang baik dari orang lain (lingkungan) tentang diri dan kepribadiannya. Sedangkan upaya escalating dilaksanakan ketika seseorang memperoleh penilaian yang negatif atau kurang dari orang lain atau lingkungan mengenai diri dan perilakunya. Sebagai individu yang ingin selalu baik, tentunya penilai negatif tersebut dijadikan sebagai landasan untuk meningkatkan (escalating) konsep diri dan perilakunya, sehingga dia akan senantiasa memiliki konsep diri yang positif. 
            Setiap manusia menjadi subjek sekaligus objek persepsi tidak terkecuali seorang mantan pelacur/wanita tuna susila. Manusia tidak hanya menanggapi atau membuat persepsi tentang dirinya sendiri saja, tetapi juga mempersepsi orang lain. Menurut Charles Horton Cooley (1864) manusia dapat melakukan hal tersebut karena dia membayangkan dirinya berdiri didepan cermin dan melalui cermin itu ia dapat mengamati dirinya. Dengan cermin itu kita akan membayangkan bagaimana orang lain memandang kita dan kemudian kita membayangkan. Konsep diri didefinisikan sebagai pandangan subyektif masing-masing individdu atau citra tentang dirinya sebagai manusia.
Deddy Mulyana (2001: 7-8), mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan kita mengenai siapa diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Manusia yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia lain tidak mungkin mempunyai kesadaran bahwa dirinya adalah manusia. Kita sadar bahwa kita manusia karena orang-orang disekeliling kita menunjukkan kepada kita lewat perilaku verbal dan nonverbal mereka bahwa kita manusia. Konsep diri kita yang paling dini umumnya dipengaruhi oleh keluarga, dan orang-orang yang dekat lainnya disekitar kita. Mereka itulah yang disebut significants other. Orang-orang diluar keluarga kita juga memberikan andil terhadap konsep diri seseorang seperti guru, sahabat bahkan media atau televisi. Semua mengharapkan kita memainkan peran kita. Menjelang dewasa kita menemui kesulitan memisahkan siapa kita dari siapa kita menurut orang lain, dan konsep diri kita memang terikat rumit dengan definisi yang diberikan kepada kita.
Dalam proses komunikasi dan interaksi, individu membutuhkan individu lainnya. Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya berdasarkan informasi yang diberikan orang lain (Mulyana, 2001:7); Suatu proses yang terbentuk melalui interaksi sosial individu dengan individu lainnya (Mulyana, 2001:73). Jadi orang lain (significant others) merupakan variabel terpenting dalam membangun kerangka rujukan bagi terbentuknya konsep diri – karakter diri sesuai dengan identitas seseorang. Sebab, seperti yang diistilahkan oleh Cooley (dalam Ritzer, 2004:294) sebagai the looking glass-self, individu akan menemukan tampilan dirinya pada orang lain melalui pengharapan, kesan, dan citra mereka saat interaksi terjadi.  Cermin diri ini selanjutnya akan membentuk tingkah laku di dalam kelompok sosial.
Namun perlu diingat bahwa tingkah laku itu sendiri merupakan sebuah respon yang bersifat aktif alih-alih sebagai paksaan atau perintah. Artinya sebagai sebuah tanggapan, ia tidak berlaku serta-merta tetapi disertai pula oleh adanya kesadaran dan pemikiran terhadap berbagai alternatif tindakan yang dapat diambil, sebagai sebuah kesempatan atau peluang untuk bertindak. Tingkah laku manusia tidak mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian masa lalu saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja (Littlejohn, 2002:271). Jadi tingkah laku di sini bukan berarti seluruh aktivitas dan gerak tubuh seseorang dalam merespon lingkungannya, melainkan perilaku yang dilakukan secara sadar dan bertujuan – yang diistilahkan oleh Weber (Mulyana, 2001:61) sebagai tindakan sosial. Pada dasarnya pikiran (yang melahirkan tindakan) merupakan sebuah percakapan internal sebagai refleksi dari interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain (Littlejohn, 2002:272). Diperkuat pula dengan asumsi dari Mead (Ritzer, 2004:272) bahwa keseluruhan sosial mendahului pemikiran individu baik secara logika maupun secara temporer.
2.2 Realitas Subyektif Eks Pelacur: Perspektif Fenomenologi
            Fenomenologi adalah teori sekaligus pendekatan yang dikembangkan oleh Alfred Shultz yang telah mapan dan penting dalam penelitian komunikasi (Littlejohn, 2002:203), dianggap dapat digunakan dalam melihat fenomena dan realitas komunikasi yang berasal dari intersubyektivitas kesadaran para mantan pelacur atau dalam istilah pemerintah “WTS”, karena pendekatan dan spririt pemikiran Shultz ini berkaitan dengan pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau dengan kata lain bagaimana orang memahami objek dan peristiwa atas pengalaman sadar mereka.
   Menurut Schutz, sebagaimana dikutif Kuswarno (2004:48) bahwa  dunia sosial tidak terlepas dari aspek historis. Dalam konteks ini, maka Schutz mengatakan bahwa tindakan sosial adalah tindakan yang berorientasi pada perilaku orang atau orang lain pada masa lalu, sekarang dan akan datang. Lebih lanjut Schutz menjelaskan bahwa melihat ke depan pada masa yang akan datang (looking-forward into the future) merupakan hal yang esensial bagi konsep tindakan atau action. Tindakan adalah perilaku yang diarahkan untuk mewujudkan tujuan pada masa datang yang telah ditetapkan (determinate). Dengan demikian, tujuan tindakan memiliki elemen ke masa depan dan elemen ke masa lalu. Dari dimensi historis tersebut, Schutz memunculkan konsep recipe knowledge. Menurut Schutz, bahwa pengalaman sebelumnya sebagai ‘recipe knowledge’ dalam menjalani kehidupan keseharian pada masa dan kondisi yang berbeda di kemudian hari, sangatlah penting bagi seseorang.
            Dalam konteks fenomenologis seorang mantan pelacur adalah pemeran (aktor) kehidupan yang suka atau tidak suka merupakan bagian dari kehidupan manusia dan ada di sekelilingnya. Kehidupan para pelacur memang unik dan sarat akan aspek historis apalagi kehadirannya di panti rehabilitasi adalah suatu sisi kejadian yang dialami dengan tidak dikehendaki sebelumnya. Meskipun dengan keterpaksaannya hadir dan mengikuti kegiatan-kegiatan rehabilitasi di panti seorang eks WTS senantiasa akan berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia lainnya untuk memenuhi hasratnya sebagai makhluk sosial. Kehadirannya di panti rehabilitasi telah membuat kebiasaan lama yang ia lakukan tidak bisa dilakoninya lagi dalam beberapa waktu, dan mungkin kelak bisa dilakukannya lagi saat setelah keluar dari panti atau dalam istilah Shultz disebut konsep recipe knowledge.
Dalam konteks lain, persoalan menjadi amat rumit dan dilematis manakala saat seorang mantan pelacur yang telah menjalani proses pembinaan di dalam panti rehabilitasi dan kembali di kehidupan masyarakat, ia kembali melakukan kebiasaan yang lamanya menjadi seorang pelacur yang tentunya dianggap melanggar norma masyarakat. Ini berarti bahwa usaha pemerintah tidak menunjukkan keefektipan hasil yang signifikan. Dalam persoalan ini pula peneliti ini akan melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan upaya lembaga panti rehabilitasi dalam melakukan pembinaannya terhadap para mantan WTS setelah pemerintah menangkapnya dalam operasi razia. Apabila dalam penelitian ini digunakan perspektif fenomenologi, hubungan-hubungan sosial dalam konteks relasi antar pribadi yang terjadi di dalam panti tersebut dimaknai sebagai interaksi sadar yang sarat dengan muatan subyektif, kreatif, inovatif dan sebagainya, maka secara metodologis karakteristik subjektif para mantan pelacur tersebut dapat terungkap lebih maksimal
2.3 Ungkapan Diri Eks WTS: dalam Johari Window
            Pendekatan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Johari Window. Sebagai suatu pendekatan komunikasi, teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana dan pada bingkai mana mantan pelacur/ WTS berkomunikasi dalam konteks relasi antar pribadi selama mengikuti proses rehabilitasi. Pendekatan ini didasari atas pandangan dan asumsi bahwa ada suatu bagan yang dapat menunjukkan tentang daerah dalam diri kita yang merupakan area publik (public self) yang diketahui orang lain, area pribadi atau private self yang tidak diketahui oleh orang lain, aspek diri yang kita ketahui pada sebelah kiri dan aspek diri yang tidak kita ketahui pada sebelah kanan (Rakhmat, 2005:107). Dalam teori Johari Window yang lengkap terdapat empat bagian yang disebut sebagai kamar-kamar jendela yang dapat menjelaskan diri kita.

                                       Kita Ketahui                   Tidak Kita Ketahui


 






Johari Window
           
Kamar pertama merupakan daerah terbuka (open area) yang meliputi semua perilaku dan motivasi yang kita ketahui dan diketahui oleh orang lain. Sedangkan daerah yang kedua adalah daerah tersembunyi (hidden area) yang kita ketahui dan tidak diketahui oleh orang lain. Daerah tidak dikenal (unknown area) merupakan area terakhir yang kita sendiri dan orang lain tidak mengetahuinya (Rakhmat, 2005:108). Menurut Liliweri (1997:49-50) Jendela Johari terdiri dari empat bingkai yang masing-masing bingkai berfungsi menjelaskan bagaimana tiap individu mengungkapkan dan memahami diri sendiri dalam kaitannya dengan orang lain. Kleinke (Devito,1997:57) mengatakan bahwa kesadaran diri merupakan landasan bagi semua bentuk dan fungsi komunikasi dan ini dapat dijelaskan dengan baik melalui jendela Johari. Oleh karena itu fenomena komunikasi (terutama yang berkaitan dengan konsep diri) para mantan wanita tuna susila sangat tepat digambarkan dengan menggunakan konsep jendela Johari (Johari Window).

III. Pendekatan Penelitian
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tradisi penelitian fenomenologis, dalam istilah Lindlof (1995:27) disebut dengan paradigma interpretif (interpretive paradigm) untuk merujuk pada penelitian komunikasi yang dengan metode kualitatif yang melakukan tradisi fenomenologi, etnometodologi, interaksi simbolik, etnografi dan studi kultural. Creswell (1998:14) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang latar dan tempat serta waktunya secara alamiah. Paradigma ini juga memungkinkan untuk dilakukan interpretasi secara kualitatif atas data-data penelitian yang telah diperoleh.
Selain itu penelitian ini akan memberi peluang yang besar untuk dibuatnya interpretasi-interpretasi alternatif. Mulyana (2002) menyebut penelitian kualitatif ini sebagai perspektif subjektif. Asumsi-asumsi dan pendekatan serta teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sangat relevan dengan ciri-ciri dari penelitian yang berperspektif subyektif, sebagaimana dikemukakan Mulyana, (2002: 147-148) yaitu:
(1). sifat realitas yang bersifat ganda, rumit, semu, dinamis (mudah berubah-rubah), dikonstruksikan, dan holistik,
(2).  aktor (subyek) bersifat aktif, kreatif dan memiliki kemauan bebas,
(3). sifat hubungan dalam dan mengenai realitas (komunikasi),
(4). hubungan peneliti dengan subyek penelitian juga bersifat setara, empati, akrab, interaktif, timbal balik, saling mempengaruhi dan berjangka lama,
(5). tujuan penelitian terkait dengan hal-hal yang bersifat khusus,
(6). metode penelitian yang deskriptif (wawancara tak berstruktur/ mendalam, pengamatan berperan serta), analisis dokumen, studi kasus, studi historis-kritis, dengan lebih menekankan pada penafsiran,
(7). analisis bersifat induktif,
(8). otentisitas (sejauhmana temuan penelitian mencerminkan penghayatan subyek yang diteliti) adalah kriteria kualitas penelitian subyektif, dan
(9).  nilai, etika, dan pilihan moral peneliti melekat dalam proses penelitian. 

Sebagaimana tradisi fenomenologi yang pada umumya menjelaskan makna pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala (Creswel, 1998:51). Dalam penelitian ini pun akan berupaya mendeskripsikan pengalaman hidup subjek penelitian (eks WTS), dengan menggunakan studi biografi untuk menelusuri sejarah hidup eks WTS terjun ke dunia pelacuran. Pendekatan kualitatif ini diharapkan mampu memperoleh gambaran utuh dari fenomena komunikasi intrapersonal dan interpersonal seorang mantan WTS dalam melakukan proses sosial pasca razia.
Pendekatan ini, diyakini mampu mengarahkan pencarian paradigma baru ilmu komunikasi dari kombinasi antara perspektif subyek yang diteliti yakni para psikolog atau Pembina panti rehabilitasi dan para mantan WTS, serta dari perspektif peneliti sendiri. Pertimbangan lainnya, karena menurut Muhadjir (2000: 149), “lebih mampu mengungkapkan realitas ganda, lebih mengungkapkan hubungan yang wajar antara peneliti dengan informan, dan karena metode kualitatif lebih sensitif dan adaptif terhadap peran pelbagai pengaruh timbal-balik”.
Untuk mengungkap realitas eks WTS dengan karakteristik sebagaimana yang telah disebutkan di atas perlu digunakan pendekatan interpretif, karena pendekatan ini akan memberi ruang bagi setiap peneliti untuk melakukan ekplorasi (penggalian) data penelitian secara alami atau lebih dekat dan lama bersama subyek penelitian (emik). Kedekatan dan kelamaan peneliti bersama subyek penelitian memungkinkan peneliti dapat mengungkap realitas-realitas yang khas dan tersembunyi dari komunitas yang unik seperti eks wanita tuna susila, sehingga hasil penelitian ini lebih maksimal dan kaya akan data-data otentik. 
3.2 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Sesuai dengan pendekatan dan metode penelitian yang digunakan, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam, observasi (pengamatan) berperan serta dan studi pustaka. Dengan demikian, peneliti yang merupakan instrumen pokok dalam penelitian bertindak sebagai partisipan penuh melalui keikutsertaan sebagai bagian dari tempat yang diamati. Bertindak sebagai partisipan penuh dilakukan untuk membangun situasi di mana peneliti dianggap bukan sebagai “others”. Tindakan tersebut juga berguna dalam mempertajam, tidak saja kemampuan pancaindera tetapi juga perasaan dan intuisi yang digunakan dalam menggali data di lapangan. Dalam penelitian ini, teknik yang paling utama digunakan peneliti adalah dengan melakukan pengamatan berperan-serta Sedangkan teknik lainnya seperti penggunaan dokumentasi dan wawancara mendalam adalah sebagai pendukung, walaupun keduannya tidak bisa dikesampingkan sama sekali.
            Setelah proses pengumpulan data, maka akan dilakukan analisis data. Langkah awal dalam analisis data adalah melakukan reduksi data. Data atau informasi yang ada akan dikelompokkan sesuai dengan topik permasalahan penelitian. Dalam konteks penelitian ini, dilakukan pengelompokkan data yang berkaitan dengan para eks WTS, menjadi dua kategori data, yaitu; data tentang pandangan eks WTS tentang diri, keluarga dan lingkungannya (yang berkaitan dengan konsep dirinya), dan tentang pola komunikasi dalam proses interaksi dan adaptasi.
            Setelah reduksi data, maka dilakukan penyajian (display) data. Setelah datadireduksi, tersusun secara sistematis dan dikelompokkan sesuai dengan jenis dan polanya, selanjutnya disusun dalam bentuk bagan-bagan atau narasi-narasi sehingga membentuk rangkaian informasi yang bermakna sesuai dengan permasalahan penelitian.
            Langkah berikutnya adalah pengambilan kesimpulan dan verifikasi. Setelah melewati tahap pertama dan kedua, selanjutnya langkah yang harus diambil adalah mengambil kesimpulan. Kesimpulan diambil berdasarkan hasil reduksi dan penyajian data. Setelah mendapatkan kesimpulan langkah selanjutnya adalah verifikasi. Verifikasi dilakukan dengan cara mencari data baru yang lebih mendalam untuk mendukung kesimpulan yang sudah didapatkannya. Tahap ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan interpretasi dari hasil wawancara dengan sejumlah informan penelitian yang dapat mengaburkan makna persoalan sebenarnya dari fokus penelitian ini. Dalam tahap ini, juga dimungkinkan untuk dibuatnya model dan pola komunikasi eks WTS, sebagai bentuk konstruk derajat kedua (second order construct) dari penelitian ini.
3.3 Subjek Penelitian
  
            Subjek dalam penelitian ini berjumlah enam belas orang eks WTS yang sedang mengikuti program kegiatan rehabilitasi dalam rangka mempersiapkan diri melakukan penyesuaian sosial di masyarakat. Adapun penulisan nama atau identitas subjek dalam penulisan ini disamarkan untuk menjaga kerahasiaan dan nama baik responden.
            Berikut ini profil subjek penelitian yang secara ringkas digambarkan dalam tabel berikut :




Tabel 
Profil Subjek Penelitian

No

Nama

Usia

Status

Agama

Pendidikan

Lama jadi WTS

Alasan
1
Ag
27
Lajang
Kristem
-
3 TAHUN
EKONOMI
2
Ms
29
Janda
Islam
SMA
3 TAHUN
KELUARGA
3
Fs
22
Lajang
Islam
SMA
1 TAHUN
PERGAULAN
4
Dg
22
Lajang
Islam
SMP
1 TAHUN
KELUARGA
5
Jl
25
Janda
Islam
SMP
3 TAHUN
KELUARGA
6
Rsl
32
Nikah
Islam
SMP
3 TAHUN
KELUARGA
7
Ld
26
Janda
Kristen
SMP
6 TAHUN
EKONOMI
8
Ml
33
Janda
Islam
SMEA
2 TAHUN
KELUARGA
9
In
24
Janda
Islam
SMP
2 TAHUN
PERGAULAN
10
Sm
25
Lajang
Islam
SD
3 TAHUN
PERGAULAN
11
Iml
25
Janda
Islam
SMA
5 TAHUN
EKONOMI
12
Nr
17
Lajang
Islam
SD
1 TAHUN
EKONOMI
13
Mus
33
Janda
Islam
SD
3 TAHUN
EKONOMI
14
Tt
37
Janda
Islam
SMA
5 Tahun
KELUARGA
15
AD
34
Lajang
Kristen
SD
15 TAHUN
EKONOMI
16
Ng
26
nikah
Islam
-
7 tahun
KELUARGA

IV. Hasil dan Pembahasan
4.1 Konsep Diri Eks WTS
            Dalam sub bab ini peneliti menyajikan hasil analisis mengenai gambaran diri eks wanita tuna susila yang menjadi subjek penelitian sebelum mengikuti kegiatan panti rehabilitasi dan selama menjalani proses rehabilitasi. Gambaran ini peneliti peroleh dari hasil wawancara mendalam dengan subjek penelitian atau responden. Perlu ditegaskan bahwa kehadirannya di panti rehabilitasi bukan atas kesadaran diri sendiri, namun karena hasil penangkapan atau razia. Sebelum itu peneliti akan menganalisi gambaran diri dari subjek penelitian dari aspek fisik, psikologis dan sosial. Sebagaimana William D. Brook melihat konsep diri seseorang terdiri dari persepsinya tentang fisik, psikologis dan sosialnya. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan elemen fisik diantaranya meliputi segi jasmani dan penampilan diri/performance, sedangkan elemen yang bersifat psikis bisa meliputi hal-hal yang berkaitan dengan perilaku personal, misalnya tanggungjawab, harapan/ ekspektasi, kemauan menerima, percaya diri, orientasi dan lain-lain. Elemen social erat kaitannya dengan kedudukan atau persepsi diri yang berkenaan dengan perilaku social misalnya persahabatan, hubungan keluarga, tingkat pendidikan dan sebagainya.
         Dalam konteks relasi antar individu atau komunikasi antarpribadi para eks wanita tuna susila di dalam panti rehabilitasi, penelitian ini ingin mengungkapkan bagaimana responden/ subjek penelitian membagi wilayah dirinya ke dalam tampilan yang ditunjukkan kepada umum, persepsi diri yang bersifat khusus atau pribadi yang memaparkan penilaian diri subjek yang diketahui orang lain dan interaksinya di dalam panti rehabilitasi dan konsep diri yang bersifat ideal antara yang ditampilkan untuk umum atau untuk situasi yang ideal atau normal. Sebagaimana Adler & Towne (1987) mengemukan sedikitnya ada tiga dimensi diri yang terlibat dalam setiap saat kita berkomunikasi, diantaranya “me” yangbersifat pribadi/ perceive self ; “me’ yang bersifat ideal/ desire self dan “me’ yang bersifat umum/ public presenting. Hal ini dimaksudkan agar dapat memberikan data yang lebih komprehensif dan lengkap mengenai diri responden sebelum memasuki panti rehabilitasi. Dengan demikian proses perubahan dalam dirinya akan lebih terungkap secara mendalam.
4.1.1 Tampilan Diri untuk Umum
Sebagian subjek mengaku bahwa pekerjaan sebagai wanita malam tidak diketahui oleh orang lain bahkan ia pun membatasi dirinya untuk berinteraksi dengan lingkungan di luar kelompok WTS. Ketika subjek berinteraksi dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya hampir semua responden menutup diri dan mengunci rapat wilayah sisi gelap diri dari orang-orang yang tidak mengetahui bahwa dirinya sebagai wanita panggilan atau pelacur dengan melakukan pengelolaan kesan.
4.1.2 Tampilan Diri eks WTS yang bersifat Pribadi
         Sebagaimana paparan diatas bahwa hampir semua subjek menyamarkan dinya di hadapan oranglain di luar dirinya baik kepada orang tua atau masyarakat sekitar dengan melakukan pengelolaan kesan atau management impression. Hal ini relevan dengna teori dramaturgis dari Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul the Presentation of self in everyday Life (1959) yang mengkaji kehidupan manusia dalam belajar memainkan berbagai peran dan mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran yang terlibat dalam kegiatan yang menunjukkan kepada satusama lain dan situasi yang mereka masuki serta perilaku-perilaku yang berlangsung dalam konteks identitas social, makna dan definisi situasi.
         Hasil temuan dan observasi peneliti saat semua Warga Binaan Sosial (WBS) dalam hal ini eks WTS istirahat mereka mengubah tampilan dan performa diri dari mulai tindak tutur yang lebih bebas dan longgar/ leluasa dibanding saat ia berkomunikasi dan berinteraksi dalam kegiatan rehabilitasi hingga pakaian yang digunakan. Namun demikian setting tempat di mana ia berada yakni di dalam panti masih menjadi suatu batasan untuk berperilaku, walaupun dalam keadaan di dalam kamar atau wisma mereka sesekali mengoreksi diantara temannya karena khawatir kalau perilakunya diketahui petugas panti. Hal ini peneliti temui saat makan malam bersama semua WBS (sebutan bagi eks WTS yang sedang mengikuti pembinaan di dalam panti) manakala petugas panti tidak hadir dalam acara makan malam tersebut salah satu WBS mengeluarkan kata-kata kotor dan jorok dan saat itu pula seorang temannya menegurnya dan memarahinya agar tidak melakukan hal yang serupa. Selain bahasa verbal yang terucap, peneliti juga melihat kekhawatiran dari seorang WBS tersebut yang sesekali melihat kepada peneliti jika kejadian tersebut sampai kepada petugas panti seolah ia masih meragukan keberadaan peneliti bersama mereka saat makan malam.

4.2 Gambaran Diri eks Wanita Tuna Susila Sebelum Memasuki Panti
4.2.1 Persepsi eks WTS tentang fisik
               Semua responden memaparkan bahwa saat sedang menjadi pelacur atau sedang mejeng ia memakai pakaian-pakian yang seksi dan tidak senonoh misalnya spans pendek, tengtop dan baju yang amat minim misalnya bagian belakang yang terbuka, atau memakai pakian yang agak terbuka di bagian-bagian yang mereka akan menambah kecantikan dan keseksian mereka. Hal ini dilakukan untuk menambah kepercayaan diri ketika melayani tamunya. Untuk menambah pesona para eks wanita tuna susila ini juga memakai make-up dan memakai parfum yang mencolok baunya supaya menambah menarik selera dan hasrat tamunya.
         Beberapa subjek diantaranya (Ag, Sum, dan Im) memakai asesoris buatan berupa gelang, kalung yang terbuat dari karet atau plastik. Namun bagi mereka hal tersebut dilakukan hanya karena mengikuti tren anak muda sekarang saja supaya dianggap anak gaul kalo lagi kumpul nongkrong dengan teman-temannya. Lain halnya dengan subjek (In) yang membuat tato di salah satu bagian bawah tubuh belakangnya, ini terlihat oleh peneliti saat wawancara. Kebiasaan memakai pakaian yang minim di malam hari tidak berarti mereka tahan akan bahayanya cuaca malam serta tidak berdampak pada kondisi fisiknya. Sebagian besar responden juga merasakan badan yang tidak stabil, capek, lelah karena harus melayani tamu yang tidak sedikit juga karena pengaruh cuaca malam serta kebiasaanya merokok bahkan meminum-minuman keras atau minuman beralkohol yang dipersepsikan sebagai penghangat tubuh dan menambah kepercayaan dirinya yang tentunya juga berakibat bagi kesehatannya. Muka kusam dan banyak jerawat merupakan salahsatu akibat yang dikeluhkan sebagian subjek.
4.2.2 Psikologis
         Berkaitan dengan perilaku atau persepsi psikologis para eks WTS sebelum memasuki panti rehabilitasi, beberapa perilaku yang ditampilkan, yakni:
(1) Menutup diri, sebagian besar subjek mengakui bahwa pekerjaannya sebagai wanita malam tidak diketahui orang tua atau karib kerabatnya di rumah, kecuali subjek Ng. Mereka tidak mau berbicara banyak dan berinterkasi dengan orang lain baik dengan keluarga apalagi dengan tetangga. Konsep diri negatif subjek mempengaruhi komunikasi. Cara subjek melihat, merasakan atau menilai dirinya secara langsung akan mempengaruhi cara orang tersebut bertindak terhadap orang lain. Dalam konteks komunikasi antar pribadi juga akan mempengaruhi dan menghambat komunikasi antar pribadi, artinya ketika berkomunikasi orang yang mempunyai konsep diri negatif cenderung menghindari interaksi dan menutup diri.
(2) Kebiasaan Berbohong, semua subjek termasuk dalam kategori ini. Umumnya kebiasaan berbohong mereka lakukan kepada keluarga terdekat yaitu orang tua, bibi atau mertua mereka dengan mengatakan bahwa mereka bekerja shift malam, disamping itu ketidaktahuan orang tua karena tempat tinggak yang jauh dimana para Eks PSK ini rata-rata kos di Jakarta sementara orangrtuanya di kampung. Pada saat mereka tertangkap razia mereka bersikukuh mengatakan kepada orangtua atau saudaranya yang besuk karena terkena razia KTP.
(3) Meninggalkan Ibadah, hampir separoh responden mengatakan bahwa ia sudah tidak lagi mengerjakan ritual agama, berupa ibadah shalat, puasa dan lain-lain. Bahkan subjek WT mengatakan bahwa dirinya ketika di kampung biasa shalat, ngaji dan puasa karena dulunya ia juga merupakan lulusan Ibtidaiyah dan Tsanawiyah semasa di cilacap.
(4) Merasa minder , pekerjaannya sebagai pekerja seks komersial membuat para WTS ini menutup diri dan secara psiklogis membuat rasa minder. Mereka menganggap diri mereka tidak berharga dalam masyarakat apalagi ketika lingkungannya mulai sedikit-sedikit mulai membicarakannya perihal kebiasaannya yang pergi petang dan pulang pagi, namun hal tersebut tidak mereka hiraukan karena mereka tidak merasa mengganggu lingkungan.
4.2.3 Sosial
(1). Jarang pulang ke rumah, mayoritas responden mengatakan bahwa mereka jarang pulang ke rumah bahkan mantan PSK yang orang tuanya tinggal di Jakarta saja memilih untuk tinggal di kost saja. Seperti misalnya subjek In yang tinggal di daerah Cakung lebih memilih kos di daerah kemayoran yang memang lebih dekat dengan tempat mangkalnya.
(2) Menghindari kontak sosial, ada 10 orang respoden yang masuk dalam kategori ini, mereka menghindari interaksi dan hubungan sosial dengan lingkungan. Apabila di lingkungan kos dikala orang lain pergi untuk bekerja atau kuliah maka ia baru sampai ke kos-an dan dipakai untuk tidur untuk mempersiapkan kondisi badannya ketika menjelang sore ia sudah mulai berangkat, sehingga jarang ada kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini sengaja dilakukan karena ia tidak berharap pekerjaannya tidak diketahui orang banyak. Budaya Jakarta yang individualistik, tidak peduli dengan urusan orang dan tidak acuh amat mendukung profesinya sebagai wanita penjaja seks ini.
(3) Melanggar Norma dan Etika Masyarakat, perilaku anti sosial berupa pelanggaran terhadap norma agama dan etika sosial masyarakat baik perilaku asusila berupa pergaulan bebas atau seks bebas.
4.3 Gambaran Diri eks Wanita Tuna Susila Selama Menjalani Rehabilitasi
         Hasil temuan di lapangan setelah melakukan observasi dan wawancara mendalam dengan semua subjek penelitian di dalam panti rehabilitasi, peneliti memperoleh hasil analisis yang dibuat dalam kategori berdasarkan kecenderungan sikap, pandangan, persepsi dan orientasi dari subjek penelitian selam mengikuti program pembinaan di dalam panti. Pendapat, sikap, pandangan, motif dan ungkapan-ungkapan sadar yang mereka ungkapkan saat wawancara mendalam tersebut di atas merupakan landasan peneliti dalam memberikan kategorisasi atas konsep diri dan perubahannya yang mereka miliki sessat setelah memasuki dan menjalani kegiatan di panti rehabilitasi. Adapun pembahasannya akan diuraikan berikut ini.
4.3.1 Konsep Diri Positif
Dari hasil wawancara, subjek (Ld, Ml, Ms, Fs, Tt dan Wt) cenderung merasakan kebahagiaan selama mengikuti proses rehabilitasi yang diselenggarakan oleh panti. Namun demikian ia tetap merasa tidak betah tinggal di panti. Lima orang subjek penelitian dalam kategori ini, merasa merasakan adanya keberhasilan dalam dirinya yaitu subjek telah mampu belajar mengaji dan keterampilan yang diikutinya. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan terhadap subjek yang mengatakan bahwa kesenangan selama mengikuti kegiatan rehabilitasi membuahkan sebuah perubahan dalam dirinya. Subjek dalam penelitian ini rata-rata mengaku memiliki kesiapan yang cukup kuat untuk melakukan penyesuaian sosial di masyarakat, hal ini ditandai dengan kemampuan yang dimiliki subjek terutama dalam bergaul dengan masyarakat. Beberapa subjek bahkan hampir separohnya juga masih diterima oleh keluarganya dan keluarganya pun dapat menutupi tentang kejelekan dirinya. Agar dapat diterima di lingkungan sekitarnya, subjek berusaha akan mengikuti kegiatan yang ada di masyarakat. Dengan cara seperti itu subjek merasa siap untuk melakukan penyesuaian dengan anggota masyarakat lainnya. Kesadaran akan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki akan menumbuhkan seseorang mampu menyadari terhadap dirinya sendiri. Kesadaran akan kesalahan yang didukung dengan pemahaman terhadap diri sendiri merupakan salah satu keberhasilan seseorang dalam mencapai suatu perubahan dalam diri.           
4.3.2 Konsep Diri Negatif
Ada lima orang subjek yang masuk kategori ini (Ag, Jl, In, Nr dan Sum). Hasil analisis data yang diperoleh darihasil wawancara mendalam peneliti dengan subjek, dalam kategori ini ditemukan bahwa subjek merasakan kurang adanya perubahan dalam dirinya selama mengikuti kegiatan rehabilitasi di panti. Artinya semua kegiatan yang ada di panti subjek terbiasa untuk melakukannya di rumah kecuali pekerjaan yang memang kegiatan tersebut di rumah tidak ada. Misalnya kegiatan keterampilan meski subjek pernah melakukan penyusunan hantaran di rumahnya. Dalam hal tertentu subjek merasa dari hasil rehabilitasi tersebut tidak membawa sebuah perubahan pada dirinya, dikarenakan kegiatan tersebut merupakan hal yang biasa dilakukan oleh seorang wanita.
            Selama di panti hampir semua responden baik secara samar atau jelas mengatakan bahwa mereka merasakan kebosanan dan kesumpekan dikarenakan subjek merasa terkungkung dalam panti seperti halnya di penjara. Kurang adanya aneka ragam dan rutinitas kegiatan yang kurang menarik dan cenderung hanya sebagai rutinitas belaka, bagi subjek membuat dia merasa tersiksa dengan program rehabilitasi tersebut. Namun meskipun demikian apabila suasana hatinya sedang dalam keadaan yang nyaman dan aman, subjek dapat merasakan kesenangannnya. Rasa ketidakbebasan dan jauh dari keluarga dan anak yang dimiliki subjek selama di panti membuat jenuh dan terkadang mengalami konflik batin (stress) meskipun subjek memiliki banyak teman. Selama di panti subjek cukup fair dan proaktif dalam mengikuti kegiatan pelayanan rehabilitasi. Artinya sikap pro aktifnya tersebut ia perlihatkan dengan sikap suka menolong terhadap sesama teman penghuni panti, mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Namun ketika ditanya tentang rencananya setelah mengikuti rehabilitasi ini mereka mengatakan bahwa akan terjun lagi menjadi seorang PSK. Indikasi tersebut di atas peneliti kategorisasikan ke dalam konsep diri (KD Negatif). Untuk menutupi identitas sebenarnya di depan petugas dan pembimbing, subjek berusaha untuk mentaati aturan yang ada di panti atau melakukan pengelolaan kesan (impresion management). Selain itu, mengikuti kegiatan rehabilitasi dengan sungguh-sungguh.
4.4 Kesiapan Penyesuaian Sosial
Stigma masyarakat yang negatif terhadap wanita mantan pelacur, akan menghambat terhadap kebutuhan bersosialisasi dengan orang lain karena mereka merasa terkucilkan di tengah kehidupan masyarakat. Keadaan tersebut diperparah dengan rasa rendah diri yang mereka miliki akan mengalami kesulitan dalam beradaptasi di masyarakat, di mana rasa rendah diri tersebut mencakup segala rasa kurang berharga yang timbul karena ketidakmampuan secara psikologis maupun secara sosial.     
Hasil penelitian mengenai penyesuaian sosial mantan pelacur yang di tampung di Panti Sosial Bina Karya Wanita “Harapan Mulya” Kedoya secara umum lebih siap untuk melakukan penyesuaian sosial di masyarakat. Hal demikian menunjukkan bahwa dengan proses rehabilitasi akan membantu para mantan pelacur dalam bersosialisasi di masyarakat yang dibekali dengan pengembalian rasa harga diri dan percaya diri yang merupakan tujuan dari pelayanan rehabilitasi. Selain itu, mereka mampu beradaptasi dengan lingkungan panti yang didukung dengan keterampilan yang dimilikinya, serta sikap mereka yang saling menolong antar sesama penghuni panti. Namun, disamping itu ada beberapa dari mereka yang sulit dan belum siap untuk melakukan penyesuaian sosial di masyarakat dikarenakan sikap mereka yang introvert dan tidak adanya penerimaan dari keluarga.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa terjadinya penyesuaian sosial itu berada dalam lingkungan hubungan sosial tempat individu bertempat tinggal. Individu dikatakan mampu melakukan penyesuaian sosial apabila individu tersebut berhasil dalam menyesuaikan diri dengan orang lain pada umumnya dan dengan kelompok pada khususnya, dimana individu tersebut mengidentifikasikan dirinya. Begitu pula dengan mantan pelacur, disebut well adjusted apabila ia memiliki keterampilan sosial dan kemampuan berhubungan dengan orang lain, baik dengan teman atau orang yang tidak dikenalnya. Karena itu sikap sosialnya berkembang dan ia tidak mengutamakan kepentingan dirinya. Ia bersedia mangulurkan bantuan kepada orang lain meskipun—sesungguhnya mungkin—secara pribadi perbuatannya tersebut tidak mendatangkan kesenangan atau keuntungan bagi dirinya. (Kartono, 2002:58)
Untuk mencapai penyesuaian sosial yang baik mereka berusaha mempersiapkan diri dengan cara meningkatkan kepercayaan diri melalui kemampuan dalam bersosialisasi, memiliki keahlian atau keterampilan untuk menunjang kehidupannya, dan memiliki kemampuan menyesuaikan diri di masyarakat. Di samping itu mereka dalam mempersiapkan dirinya selama di panti lebih kepada menjalin hubungan sosial dengan teman sebayanya maupun dengan orang lain. Oleh karena itu sebagai wujud dari penyesuaian sosial tersebut yaitu individu mampu mengaktualisasikan dirinya, mematuhi aturan kelompok masyarakat, menyenangkan orang lain, suka menolong orang lain, serta ikut andil dalam aktivitas kelompok masyarakat. Hampir semua responden dapat merasakan kesiapan untuk melakukan penyesuaian sosial di lingkungan sekitarnya, yang didukung dengan kepercayaan dirinya yang tinggi. Hal tersebut akan memudahkan mereka untuk diterima di masyarakat, meskipun mereka menyatakan suatu saat tidak tertutup kemungkinan akan kembali menjadi pelacur.
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat diketahui bahwa mantan pelacur yang memiliki kepercayaan diri, keterampilan atau keahlian tertentu dan memiliki kemampuan bersosialisasi dengan orang lain yang ditunjang dengan kondisi fisik yang sehat dan kebersihan diri serta memiliki kerapihan dalam berpenampilan yang baik akan lebih siap dan lebih mudah untuk melakukan penyesuaian sosial di masyarakat. Meskipun hal demikian, mereka (mantan pelacur) oleh sebagian masyarakat dianggap orang yang memiliki cacat secara sosial, tetapi mereka memiliki kecenderungan untuk mampu berinteraksi dengan lingkungan tempat mereka tinggal.  
Hal yang mereka lakukan selama di panti dalam mempersiapkan diri melakukan penyesuaian sosial di masyarakat. Diantara usaha-usaha tersebut mereka selalu menjaga hubungan baik dengan sesama teman dan petugas panti, meningkatkan kepercayaan diri dengan cara menekuni keterampilan, lebih bayak mendekatkan diri kepada Tuhan, saling menolong diantara sesama mantan pelacur. Selain itu, kemajuan dan keberhasilan yang dicapai selama mengikuti kegiatan pelayanan rehabilitasi (psikoterapi) di panti membuat mereka lebih siap dalam melakukan penyesuaian sosial di masyarakat.
Kemampuan individu dalam melakukan persiapan penyesuaian sosial sangat dipengaruhi oleh individu itu sendiri dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Gerungan (2004:60), menyesuaikan diri dalam arti kata yang luas yaitu mengubah diri sesuai dengan lingkungan atau yang biasa disebut penyesuaian diri yang autoplastis dan mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan dan keinginan diri atau yang biasa disebut dengan penyesuaian diri secara aloplastis.
Menurut subjek, setelah mengikuti kegiatan rehabilitasi di panti ia memiliki kesiapan yang cukup kuat untuk melakukan penyesuaian sosial di masyarakat. Subjek merasa bahwa dirinya sudah terbiasa hidup dengan orang banyak di mana menurut subjek meski ia menjadi pelacur, tetap juga penyesuaian sosial itu merupakan hal yang penting supaya diterima oleh masyarakat. Keterbiasaan dalam melakukan interaksi dengan orang lain memudahkan bagi subjek untuk melakukan penyesuaian. Apalagi yang didukung dengan pengalamannya pada waktu menjadi wanita panggilan yang menuntutnya untuk mahir dalam melakukan penyesuaian pada situasi apapun.
Subjek akan berusaha memperbaiki diri melalui pengembangan diri yang dimilikinya supaya dapat hidup di masyarakat dengan baik. Untuk itu persiapan-persiapan untuk penyesuaian tersebut sangat penting, agar tidak menjadi minder. Subjek merasa akan lebih siap menyesuaikan diri di masyarakat sekitar karena keberadaan subjek diketahui oleh tetangganya sebagai karyawati sebuah perusahaan di Bandung. Sehingga dengan begitu subjek tidak mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan mereka. Kepercayaan diri subjek atas ketidaktahuan masyarakat tentang dirinya yang menjadi pelacur, akan membuat subjek lebih gampang bersosialisasi. Deindividuasinya tersebut mangakibatkan subjek diterima di masyarakat. Penerimaan diri dari keluarga akan mempermudah subjek untuk beradaptasi di masyarakat. Dari hasil temuan diperoleh kategori eks WTS yang mempunyai kesiapan penyesuaian dalam beradaptasi sosial, siap bersyarat, dan tidak siap. Dalam kategori SIAP menunjukkan bahwa para eks WTS akan bertekad dan siap memasuki lingkungan sosial yang baru di masyarakat kelak dengan tidak akan melakukan kembali aktivitasnya sebagai wanita malam. Pada kategori ini hampir semuanya ditemukan pada subjek atau responden yang memiliki konsep diri yang positif. Hal ini dapat ditemukan pada diri subjek (Ld, Ml, Ms, Fs, Tt dan Wt). Walaupun demikian pada prinsipnya semua eks wanita tuna susila akan siap beradaptasi secara sosial di masyarakat karena pekerjaannya selama ini tidak diketahui oleh orang lain. Dalam pembahasan ini mereka yang masuk dalam kategori SIAP adalah para eks wanita tuna susila yang mempunyai tekad yang kuat untuk meninggalkan kebiasaanya berpropesi sebagai WTS pasca rehabilitasi. Adapun kategori eks WTS yang termasuk dalam SIAP BERSYARAT merupakan eks wanita tuna susila yang masih memiliki keraguan dalam memasuki lingkungan sosial yang baru apabila dengan tidak terjun kembali sebagai WTS sementara kendala dan kebutuhan kehidupan akan ia hadapi manakala profesinya sebagai pelacur benar-benar ia tinggalkan. Pada kategori ini para eks WTS akan meninggalkan profesinya manakala ada pekerjaan yang layak dan kebutuhan hidup diri keluarganya dapat terpenuhi. Eks WTS yang merasa tidak siap beralih profesi sebagai pelacur dan juga Tidak Siap Beradaptasi Sosial di masyarakat lebih dominan ditemukan pada mereka yang mempunyai konsep diri negatif. Kategori ini menunjukkan bahwa mereka tidak akan kapok menjadi seorang pelacur karena merupakan profesi yang selain menyenangkan juga memperoleh uang yang banyak, terutama bagi para eks WTS yang mempunyai latar belakang pendidikan yang amat rendah atau bahkan tidak pernah sekolah sama sekali.

V. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pemaparan hasil penelitian yang telah dibahas pada bab terdahulu, dapat dikemukakan kesimpulan bahwa gambaran diri subjek dalam melakukan hubungan antarpribadi dilakukan dengan membagi wilayah dirinya dengan tampilan diri untuk orang lain dan tampilan diri yang ditunjukkan untuk dirinya pribadi. Hasil temuan menunjukkan bahwa hampir seluruh subjek menutup wilayah sisi gelap diri dari orang-orang yang tidak mengetahui bahwa dirinya sebagai pelacur dengan cara melakukan impression management / pengelolaan kesan. Demikian halnya ketika seorang eks WTS yang terkena razia dan sedang mengikuti rehabilitasi di dalam panti melakukan pengelolaan kesan saat berkomunikasi dengan keluarganya atau dengan pihak luar dengan tidak mengakui bahwa dirinya sebagai pelacur. Tampilan yang berbeda ini ditunjukkan saat subjek penelitian mengikuti kegiatan rehabilitasi dan saat subjek berada di dalam wisma atau saat istirahat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa terjadinya penyesuaian sosial itu berada dalam lingkungan hubungan sosial tempat individu bertempat tinggal. Individu dikatakan mampu melakukan penyesuaian sosial apabila individu tersebut berhasil dalam menyesuaikan diri dengan orang lain pada umumnya dan dengan kelompok pada khususnya, di mana individu tersebut mengidentifikasikan dirinya. Begitu pula dengan mantan pelacur, disebut well adjusted apabila ia memiliki keterampilan sosial dan kemampuan berhubungan dengan orang lain, baik dengan teman atau orang yang tidak dikenalnya.
Dari hasil temuan diperoleh kategori eks WTS yang mempunyai kesiapan penyesuaian dalam beradaptasi sosial, siap bersyarat, dan tidak siap. Dalam kategori SIAP menunjukkan bahwa para eks WTS akan bertekad dan siap memasuki lingkungan sosial yang baru di masyarakat kelak dengan tidak akan melakukan kembali aktivitasnya sebagai wanita malam. Adapun kategori eks WTS yang termasuk dalam SIAP BERSYARAT merupakan eks wanita tuna susila yang masih memiliki keraguan dalam memasuki lingkungan sosial yang baru apabila dengan tidak terjun kembali sebagai WTS sementara kendala dan kebutuhan kehidupan akan ia hadapi manakala profesinya sebagai pelacur benar-benar ia tinggalkan. Eks WTS yang merasa tidak siap beralih profesi sebagai pelacur dan juga Tidak Siap Beradaptasi Sosial di masyarakat lebih dominan ditemukan pada mereka yang mempunyai konsep diri negatif. Kategori ini menunjukkan bahwa mereka tidak akan kapok menjadi seorang pe;acur karena merupakan profesi yang selain menyenangkan juga memperoleh uang yang banyak, terutama bagi para eks WTS yang mempunyai latar belakang pendidikan yang amat rendah atau bahkan tidak pernah sekolah sama sekali.

VI. Daftar Pustaka
Adler, Ronald B. Towne, Neil. 1987. Looking out Looking in Interpersonal Communication. Hilt Rinchart and Wiston. New York
Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing Among Five Traditions. California: Sage Publication.
DeVito, Joseph.1997. Komunikasi Antar Manusia.ed.V.terj. Ir.Agus Maulana. Professional Books
Goffman, Erving. 1959. The Presentation of Self in Everyday Live. Reat Britain: Cox & Wyman Ltd
Gerungan, W.A. 2004. Psikologi Sosial, Bandung: PT. Refika Aditama

Kartono, Kartini. 2002. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung. Mandar Maju
Kuntjoro. 2004. Tutur dari Sarang Pelacur, Yogyakarta : Tinta
Kuswarno, Engkus. 2004. Konstruksi Sosial dan manajemen komunikasi Pengemis Kota Bandung. Disertasi. Unpad
Lindlof, Thomas R., 1995, Qualitative Communication Research Methods, California USA: Sage Publication
Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communications, sixth Edition. New Mexico: Wodsworth Publishing Company.
Liliweri, Alo. “Komunikasi Antarpribadi”.bandung.Citra Aditya Bakti
Muhadjir, Noeng. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta: Rakai Sarasin.
Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya
______________, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosda Karya.
Rakhmat, Jalaluddin.2005. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi, Bandung: Remaja Rosda Karya
Rahman, Nurlina. 2004. Konsep Diri Pemakai Narkoba dalam Konteks Komunikasi Antar Pribadi. Tesis. Unpad
Ritzer, G. Douglas.J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. terj. Alimandan. Jakarta: Kencana
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Sebuah Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia


* Dosen Uhamka Jakarta, Jl Limau 2 Kebayoran Baru Jakarta Selatan