komunikasi

Minggu, 08 April 2012

Membaca Ulang Ukuran-Ukuran Ikhlas


Membaca Ulang Ukuran-Ukuran Ikhlas

Di dalam shalat, ikhlas digambarkan dalam doa iftitah yang sering kita bacakan dan merupakan janji kita kepada Allah SWT, “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku lillahi Robbil ‘Alamin”. Jadi Ikhlas adalah mengerjakan dan melaksanakan segala hal Lillah.
Jalaluddin Rakhmat (2001) memberikan batasan yang amat komprehensif berkaitan dengan makna “Lillah” (karena Allah) ini, yakni karena Allah (lam yang berarti sebab), untuk Allah (lam berarti tujuan) dan kepunyaan Allah ( lam berarti milik). Makna-makna ini menunjukkan tingkat keikhlasan. Makna untuk Allah adalah tingkat keikhlasan paling tinggi.
Makna “karena Allah” dapat kita lihat apabila kita memberikan bantuan kepada orang yang mendapatkan kesusahan dan kesulitan, dan karena kita mengetahui bahwa Allah memerintahkan kita untuk beramal dan membantu mereka, maka kita termasuk melakukan amal karena Allah. Apabila kita menghentikan pertolongan dan bantuan karena orang yang kita beri pertolongan itu tidak mengucapkan terima kasih kepada kita, bahkan menjelek-jelekkan kita, Kita dapat dikategorikan beramal yang tidak Ikhlas.
Apabila Saudara melakukan sesuatu karena ingin menjalankan perintah Allah, tidak perlu bereaksi terhadap respon mereka kepada Saudara. Saudara termasuk beraamal dengan Ikhlas. Sebagaimana dijelaskan Al Qur’an (Q.S, 76:9) :
Artinya;
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan    Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.

            Bagaimana bila kita menuntut upah setelah memberikan pengajian? Bila kita menuntut upah/gaji karena kita tahu bahwa Allah melalui Rasul-Nya menyuruh kita menuntut hak kita, maka kita masih termasuk beramal dalam kategori Ikhlas.

Distorsi Makna Dan Manajemen Kesan
            Makna Ikhlas dalam kehidupan sehari-hari terkadang telah mengalami distorsi dan pembiasan makna dan mengalami pengelolaan kesan dalam implementasinya di masyarakat.
Mari kita kisah seorang guru ngaji yang mengajarkan anak-anak untuk menjadikan mereka menjadi seorang anak yang baik dan sholeh/sholehah, ia dipanggil oleh seorang kaya untuk mengajarkan al Qur’an kepada anak-anaknya, dengan rutin dan teratur ia dating tepat waktu. Kalau sedang mempunyai uang ia datang dengan naik kendaraan umum, atau ia rela dengan berjalan kaki ketika sedang tidak punya uang. Setelah satu bulan, dengan penuh harap ia menunggu honor /upahnya. Atas nama “Ikhlas”, orang kaya itu berkata: ”Ustadz saya yakin antum adalah pribadi yang ikhlas dan hanya berharap ridha Allah, dan saya khawatir merusak amal ustadz kalau saya membayarnya dan saya berdoa semoga Ustadz dibalas oleh Allah kebaikan yang berlipat ganda”.
Dari kisah tadi timbul pertanyaan apakah benar ikhlas artinya tidak menerima upah ketika mengajarkan AlQur’an, benarkah ikhlas adalah tidak menerima pesangon untuk kegiatan dakwah?. Padahal nabi Muhammad SAW dalam hadist yang diriwayatkan Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi) mengatakan bahwa ”Tidak ada yang paling pantas kalian ambil upahnya seperti membaca kitab Allah”. Nabi Muhammad SAW tidak menyebut Abu Sa’id Al Khudri menjual aya-ayat Allah. Ia bahkan mengatakan bahwa mengambil upah dari membaca kitab Allah itu sangat pantas. Dalam Al Qur’an orang yang menyebarkan ajaran Islam termasuk “Fisabilillah” dan berhak mendapat bagian dari zakat, walupun ia seorang yang kaya raya. Ketika muballigh menerima upah atau zakat, ia tidak kehilangan ikhlasnya. Ikhlas tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak upah.
Kisah lain diceritakan bahwa pada suatu acara, jamaah ingin memberikan kenang-kenangan dan sebagai rasa terima kasih kepada muballigh yang telah mengajarkannya. Sang muballigh menolaknya seraya berkata” Saya tidak ingin merusak keikhlasan saya. Saya mengajarkan kepada jamaah tanpa mengharapkan upah. Upah saya di sisi Allah.” Muballigh ini mendefinisikan Ikhlas sebagai menolak upah dari manusia. Benarkah definisi ini ? Atau jangan-jangan sedang berdarmaturgis (manajemen kesan-“impression management “dalam istilah Goffman) karena ingin dikatakan sebagai pribadi yang ikhlas karena statusnya sebagai ustadz atau muballigh.
Merekayasa kesan adalah hak atau pilihan seseorang dalam memakna konsep dalam konteksnya. Sebagai contoh seorang mahasiswa akan mengelola kesan dan ia ingin dianggap mahasiswa dengan cirri-ciri sebagai intelek, ia pun menggunakan bahasa-bahasa ilmiah yang sangat sulit dicerna saat berceramah di depan anak-anak SD dan SMP. Seorang artis akan meneguhkan citra dirinya dengan mengelola kesan sebagi public figure yang akan dijadikan trendsetter oleh publik dari segi mode, busana, cara berpakaian dan berprilaku walaupun ia sedang berada dengan lingkungan masyarakat yang saat itu mengenalnya sebagai kuli buruh bagunan atau seorang pengangguran.
Sama halnya dengan citra yang ingin dimaknai oleh seorang ustadz dengan memaknai dan mengajarkan ikhlas kepada masyarakat saat jamaahnya ingin memberikan sebuah ungkapan terima kasih. Apakah Ikhlas harus terucapkan secara Dhohir atau cukup kita dan Allah lah yang maha tahu, semua pilihan itu kembali kepada kita semoga amal kita dicatat sebagai amal orang-orang yang ikhlas. Amin.


1 komentar:

  1. MPR Group Casino Company Profile | jtmhub.com
    MPR Group 서울특별 출장샵 Casino 동해 출장마사지 Company Profile. Find company research, competitor information, contact details & financial data 토토커뮤니티 for MPR Group 용인 출장안마 Casino 평택 출장샵 of

    BalasHapus